Reklamasi Singapura sebagai Potensi Konflik Terhadap Batas Wilayah Indonesia-Singapura

Reklamasi Singapura sebagai Potensi Konflik Terhadap Batas Wilayah Indonesia-Singapura
Oleh :Siti Fatimah (1510631180141)


Reklamasi merupakan suatu proses perluasan wilayah yang dilakukan suatu negara dengan melakukan pengerukan wilayah. Singapura sebagai salah satu negara yang menerapkan kebijakan ini sebagai antisipasi atas keterbatasan wilayah yang dimilikinya dengan jumlah penduduknya yang terus meningkat, pertimbangan ekonomi dan bisnis. Maka untuk mengatasi masalah ini satu-satunya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Singapura adalah dengan mereklamasi daerah pantai dan menjadikannya daratan. Sejak pemerintah Singapura melakukan proyek reklamasi ini pada tahun 1966, luas daratan Singapura yang awalnya hanya 581,5 km² pada tahun 2000 luas wilayah daratannya telah mencapai 766 km2[1].
            Dengan adanya reklamasi pantai yang dilakukan singapura ini maka secara langsung dapat berdampak pada batas negara antara Indonesia dan Singapura. Permasalahan batas maritim Indonesia-Singapura muncul karena adanya tumpang tindih klaim lebar laut teritorial yang diajukan kedua negara. Pada tahun 1957, pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah perairannya. Deklarasi tersebut dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia sejauh 12 mil laut dari garis pangkal. Pada tahun yang sama, Singapura juga mengeluarkan ketetapan tentang pengukuran lebar laut teritorialnya. Karena Singapura pada saat itu dikuasai Inggris, maka penetapan lebar laut teritorialnya meniru ketentuan yang berlaku di Inggris, yaitu berdasarkan teori Cornelius. Teori Cornelius mengemukakan penetapan lebar laut teritoial suatu negara adalah sejauh jangkauan rata-rata tembakan meriam. Pada waktu itu, jangkauan rata-rata tembakan meriam adalah sejauh tiga mil. Klaim lebar laut teritorial yang diajukan Indonesia dan Singapura tersebut mengalami tumpang tindih karena wilayah perairan yang memisahkan kedua negara lebarnya kurang dari 15 mil.
            Selain itu, kepentingan ekonomi serta pertahanan dan keamanan juga menjadi latar belakang permasalahan batas maritim Indonesia-Singapura. Selat Singapura yang memisahkan Indonesia dan Singapura berada pada jalur pelayaran internasional yang menghubungkan negara-negara di Asia Tenggara dengan negara-negara Eropa, Jepang, Cina maupun Amerika Serikat, dimana kawasan ini termasuk kawasan yang ramai dan merupakan jalur pelayaran terpadat di dunia karena menjadi kawasan persinggahan kapal-kapal besar. Oleh karena itu negara manapun yang menguasai Selat Singapura akan berkembang perekonomiannya, atas dasar inilah kedua negara berusaha menguasai kawasan tersebut.
Namun, Menyadari lebih banyak kerugian yang disebabkan oleh reklamasi pantai yang dilakukan Singapuran mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melakukan pernyelesaian dengan jalur damai dan beberapa kali perjanjian. Beberapa faktor yang mendorong Pemerintah Indonesia segera melakukan penyelesaian permasalahan batas maritim ini yaitu; Pertama, pemerintah Indonesia mengkhawatirkan reklamasi pantai Singapura akan  menggeser batas maritim kedua negara ke arah selatan, dimana  perluasan wilayah tersebut akan mengubah garis pantainya sehingga wilayah perairan Singapura bergeser ke arah selatan. Kedua, kegiatan penambangan pasir laut di Kepulauan Riau untuk diekspor ke Singapura telah mengakibatkan abrasi pantai yang mengancam hilangnya titik-titik pangkal Indonesia, penambangan itu dilakukan secara besar-besaran sehingga hampir seluruh wilayah perairan di Propinsi Riau sudah dikapling-kapling oleh para pengusaha. Hingga Juni 2002 tercatat 67 perusahaan telah yang mengantongi izin melakukan eksploitasi pasir laut, dan 300 perusahaan lainnya sudah memiliki izin eksplorasi.[2] Abrasi pantai tersebut juga mengakibatkan hampir tenggelamnya Pulau Nipah yang berfungsi sebagai median line Indonesia-Singapura. Pulau Nipah yang semula luasnya 90 hektar dengan ketinggian 2,5 meter dari permukaan laut kini merosot drastic hingga tinggal 60 hektar dengan ketinggian hanya tersisa satu meter saat pasang.[3] Ketiga, adalah untuk menjaga keamanan wilayah teritorial Indonesia dari  negara-negara lain serta menghadapi ancaman teritorial oleh gerakan separatisme, penyelundupan, perompakan dan illegal fishing.
Berdasarkan permasalahan yang dialami Indonesia-Singapura penulis menganalisis dengan teori Segitiga Konflik. Menurut Johan Galtung, untuk melihat potensi konflik akibat proses reklamasi yang dilakukan oleh Singapura, maka dapat digunakan teori segitiga konflik, yang mengatakan bahwa konflik dapat dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi, sikap dan perilaku.
Melalui segitiga konflik ini, kita bisa melihat bahwa dalam sebuah konflik yang tidak simetris, kontradiksi ditentukan oleh pihak -pihak yang bertikai, hubungan mereka, dan benturan kepentingan inheren antara mereka dalam berhubungan. Kontradiksi pada kasus reklamasi yang dilakukan Singapura ini tidak bisa terlepas dari hukum laut internasional yaitu UNCLOS 1982. Karena untuk setiap permasalahan yang berhubungan dengan hukum laut pasti akan merujuk ke UNCLOS sebagai dasar penyelesaian masalah apabila ada sengketa laut. Meskipun dalam kasus reklamasi Singapura ini tidak disebutkan secara jelas pasal mana yang berkaitan dengan masalah reklamasi. Namun dari beberapa pasal yang ada di UNCLOS ada pasalpasal yang masih ada hubungannya dengan proses reklamasi ini.Berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan UNCLOS mengenai reklamasi tersebut, maka ada celah-celah dari masing-masing negara, baik Indonesia maupun Singapura, untuk mengajukan argumen masing-masing terkait permasalahan reklamasi Singapura dan dampak delimitasi batas wilayah.
Kemudian ketidaksesuaian sikap dan perilaku tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konflik laten ketika belum muncul di permukaan. Hal ini terjadi pada kasus reklamasi Singapura. Potensi konflik yang terjadi akibat proses reklamasi yang dilakukan oleh Singapura adalah sebuah bentuk perilaku konflik laten, karena ada indikasi terjadi fakta incompability di lapangan antara Indonesia dan Singapura. Akan tetapi, perilaku konflik tersebut belum muncul di permukaan (sampai saat ini, pemerintah Indonesia dan Singapura secara diplomatik mengatakan bahwa tidak ada masalah perbatasan di antara keduanya, namun fakta di lapangan menunjukkan terjadinya incompability di daerah perbatasan Indonesia-Singapura, sekitar daerah reklamasi).
Potensi konflik akibat belum tuntasnya perjanjian perbatasan Indonesia-Singapura walaupun sudah melakukan perjanjian pada tahun 1973 yang menghasilkan perjanjian yang menetapkan 6 titik perbatasan. Namun perjanjian ini belum menuntaskan keseluruhan garis batas antara Indonesia-Singapura sehingga masih menimbulkan beberapa celah yang dapat merubah garis batas Indonesia-Singapura. Kemudian, tidak dicantumkannya referensi (datum geodesi) dalam perjanjian perbatasan Indonesia-Singapura tahun 1973. Hal ini berakibat tidak dapat ditentukannya posisi nyata di permukaan bumi perbatasan antara Indonesia dengan Singapura.[4]
            Penulis berpendapat bahwa konflik perbatasan wilayah antara Indonesia-Singapura akan menjadi boomerang bagi kedua belah pihak jika penyelesaian masalah belum menacapai titik terang. Karena apabila semakin luput dari pantauan pemerintah Indonesia akan semakin memberikan ancaman yang lebih merugikan pihak Indonesia. Sehingga langkah yang harus dibenahi adalah membuat ketetapan yang tegas mengenai batas-batas negara, baik dari berbagai aspek darat, laut maupun udara. Kemudian peran pemerintah Indonesia juga harusnya memberikan perhatian lebih kepada wilayah-wilayah perbatasan, sehingga tidak mengulangi kekecewaan seperti kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan. Perhatian khusus juga harus diberikan salah satunya kepada Pulau Nipah yang hampir tenggelam yang memiliki peran penting sebagai pulau terluar dari Indonesia dan sebagai titik pengukuran perbatasan dengan negara tetangga. Kemudian dampak yang ditimbulkan dari reklamasi singapura yang menyebabkan abrasi pantai dan merusak ekosistem disekitarnya perlu dibenahi dan dikelola kembali. Akhir kata terkait semua masalah yang ditimbulkan oleh reklamasi Singapura, penulis berharap pemerintah Indonesia harus lebih bijak dalam mengatur dan melindungi kepentingan nasional bangsa Indonesia.




[1]  Huala Adolf, Reklamasi Singapura : Tragedi sipadan-Ligitan babak Kedua?, http://www.kompas.com/kompas-cetak/1402/05/nasional/109318.htm, diakses pada tanggal 18 Maret 2005
[2] KALIPTRA Sumatra, Neraka Bagi Kehidupan Nelayan Tradisional, http://www.walhi.or.id/kampanye/tambang/galianc/tum-neraka-nelayan-kk-080802, diakses tanggal 18 Maret 200
[3] Swasta Dilibatkan Kelola Pulau Nipah,  http://www.kompas.com/kompas-cetak0502/02/ekonomi/1537341.htm,  diakses tanggal 16 Mei 2005
[4] Wisnu Yudha AR, "Reklamasi Singapura sebagai Potensi Konflik Delimitasi Per batasan Wilayah IndonesiaSingapura", Global & Strategis, Th I, No a, Juli-Desember 2007. 120-137.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PELAJARAN BERHARGA DARI LEPASNYA SI KEMBAR CANTIK “SIPADAN-LIGITAN”

POROS MARITIM DUNIA (PMD) SEBAGAI KONSEP HEDGIN BANGSA INDONESIA