Reklamasi Singapura sebagai Potensi Konflik Terhadap Batas Wilayah Indonesia-Singapura
Reklamasi
Singapura sebagai Potensi Konflik Terhadap Batas Wilayah Indonesia-Singapura
Reklamasi merupakan suatu proses perluasan wilayah
yang dilakukan suatu negara dengan melakukan pengerukan wilayah. Singapura
sebagai salah satu negara yang menerapkan kebijakan ini sebagai antisipasi atas
keterbatasan wilayah yang dimilikinya dengan jumlah penduduknya yang terus
meningkat, pertimbangan ekonomi dan bisnis. Maka untuk mengatasi masalah ini
satu-satunya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Singapura adalah dengan
mereklamasi daerah pantai dan menjadikannya daratan. Sejak pemerintah Singapura
melakukan proyek reklamasi ini pada tahun 1966, luas daratan Singapura yang
awalnya hanya 581,5 km² pada tahun 2000 luas wilayah daratannya telah mencapai
766 km2[1].
Dengan
adanya reklamasi pantai yang dilakukan singapura ini maka secara langsung dapat
berdampak pada batas negara antara Indonesia dan Singapura. Permasalahan batas
maritim Indonesia-Singapura muncul karena adanya tumpang tindih klaim lebar
laut teritorial yang diajukan kedua negara. Pada tahun 1957, pemerintah
Indonesia mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah perairannya. Deklarasi
tersebut dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda yang menyatakan bahwa laut
teritorial Indonesia sejauh 12 mil laut dari garis pangkal. Pada tahun yang
sama, Singapura juga mengeluarkan ketetapan tentang pengukuran lebar laut
teritorialnya. Karena Singapura pada saat itu dikuasai Inggris, maka penetapan
lebar laut teritorialnya meniru ketentuan yang berlaku di Inggris, yaitu
berdasarkan teori Cornelius. Teori Cornelius mengemukakan penetapan lebar laut
teritoial suatu negara adalah sejauh jangkauan rata-rata tembakan meriam. Pada
waktu itu, jangkauan rata-rata tembakan meriam adalah sejauh tiga mil. Klaim
lebar laut teritorial yang diajukan Indonesia dan Singapura tersebut mengalami
tumpang tindih karena wilayah perairan yang memisahkan kedua negara lebarnya
kurang dari 15 mil.
Selain
itu, kepentingan ekonomi serta pertahanan dan keamanan juga menjadi latar
belakang permasalahan batas maritim Indonesia-Singapura. Selat Singapura yang
memisahkan Indonesia dan Singapura berada pada jalur pelayaran internasional
yang menghubungkan negara-negara di Asia Tenggara dengan negara-negara Eropa, Jepang,
Cina maupun Amerika Serikat, dimana kawasan ini termasuk kawasan yang ramai dan
merupakan jalur pelayaran terpadat di dunia karena menjadi kawasan persinggahan
kapal-kapal besar. Oleh karena itu negara manapun yang menguasai Selat
Singapura akan berkembang perekonomiannya, atas dasar inilah kedua negara
berusaha menguasai kawasan tersebut.
Namun, Menyadari lebih banyak kerugian yang disebabkan
oleh reklamasi pantai yang dilakukan Singapuran mendesak Pemerintah Indonesia
untuk segera melakukan pernyelesaian dengan jalur damai dan beberapa kali
perjanjian. Beberapa faktor yang mendorong Pemerintah Indonesia segera
melakukan penyelesaian permasalahan batas maritim ini yaitu; Pertama, pemerintah Indonesia
mengkhawatirkan reklamasi pantai Singapura akan
menggeser batas maritim kedua negara ke arah selatan, dimana perluasan wilayah tersebut akan mengubah
garis pantainya sehingga wilayah perairan Singapura bergeser ke arah selatan. Kedua, kegiatan penambangan pasir laut
di Kepulauan Riau untuk diekspor ke Singapura telah mengakibatkan abrasi pantai
yang mengancam hilangnya titik-titik pangkal Indonesia, penambangan itu
dilakukan secara besar-besaran sehingga hampir seluruh wilayah perairan di
Propinsi Riau sudah dikapling-kapling oleh para pengusaha. Hingga Juni 2002
tercatat 67 perusahaan telah yang mengantongi izin melakukan eksploitasi pasir
laut, dan 300 perusahaan lainnya sudah memiliki izin eksplorasi.[2] Abrasi pantai tersebut
juga mengakibatkan hampir tenggelamnya Pulau Nipah yang berfungsi sebagai median line Indonesia-Singapura. Pulau
Nipah yang semula luasnya 90 hektar dengan ketinggian 2,5 meter dari permukaan
laut kini merosot drastic hingga tinggal 60 hektar dengan ketinggian hanya
tersisa satu meter saat pasang.[3] Ketiga, adalah untuk menjaga keamanan wilayah teritorial Indonesia
dari negara-negara lain serta menghadapi
ancaman teritorial oleh gerakan separatisme, penyelundupan, perompakan dan
illegal fishing.
Berdasarkan permasalahan yang dialami
Indonesia-Singapura penulis menganalisis dengan teori Segitiga Konflik. Menurut Johan Galtung, untuk melihat
potensi konflik akibat proses reklamasi yang dilakukan oleh Singapura, maka
dapat digunakan teori segitiga konflik, yang mengatakan bahwa konflik dapat
dilihat sebagai sebuah segitiga, dengan kontradiksi, sikap dan perilaku.
Melalui segitiga konflik ini, kita bisa melihat bahwa
dalam sebuah konflik yang tidak simetris, kontradiksi ditentukan oleh pihak
-pihak yang bertikai, hubungan mereka, dan benturan kepentingan inheren antara
mereka dalam berhubungan. Kontradiksi pada kasus reklamasi yang dilakukan
Singapura ini tidak bisa terlepas dari hukum laut internasional yaitu UNCLOS
1982. Karena untuk setiap permasalahan yang berhubungan dengan hukum laut pasti
akan merujuk ke UNCLOS sebagai dasar penyelesaian masalah apabila ada sengketa
laut. Meskipun dalam kasus reklamasi Singapura ini tidak disebutkan secara
jelas pasal mana yang berkaitan dengan masalah reklamasi. Namun dari beberapa
pasal yang ada di UNCLOS ada pasalpasal yang masih ada hubungannya dengan
proses reklamasi ini.Berdasarkan interpretasi terhadap ketentuan-ketentuan
UNCLOS mengenai reklamasi tersebut, maka ada celah-celah dari masing-masing
negara, baik Indonesia maupun Singapura, untuk mengajukan argumen masing-masing
terkait permasalahan reklamasi Singapura dan dampak delimitasi batas wilayah.
Kemudian ketidaksesuaian sikap dan perilaku tersebut
dapat dikatakan sebagai sebuah konflik laten ketika belum muncul di permukaan.
Hal ini terjadi pada kasus reklamasi Singapura. Potensi konflik yang terjadi
akibat proses reklamasi yang dilakukan oleh Singapura adalah sebuah bentuk
perilaku konflik laten, karena ada indikasi terjadi fakta incompability di lapangan antara Indonesia dan Singapura. Akan
tetapi, perilaku konflik tersebut belum muncul di permukaan (sampai saat ini,
pemerintah Indonesia dan Singapura secara diplomatik mengatakan bahwa tidak ada
masalah perbatasan di antara keduanya, namun fakta di lapangan menunjukkan
terjadinya incompability di daerah
perbatasan Indonesia-Singapura, sekitar daerah reklamasi).
Potensi konflik akibat belum tuntasnya perjanjian perbatasan
Indonesia-Singapura walaupun sudah melakukan perjanjian pada tahun 1973 yang
menghasilkan perjanjian yang menetapkan 6 titik perbatasan. Namun perjanjian
ini belum menuntaskan keseluruhan garis batas antara Indonesia-Singapura
sehingga masih menimbulkan beberapa celah yang dapat merubah garis batas
Indonesia-Singapura. Kemudian, tidak dicantumkannya referensi (datum geodesi)
dalam perjanjian perbatasan Indonesia-Singapura tahun 1973. Hal ini berakibat
tidak dapat ditentukannya posisi nyata di permukaan bumi perbatasan antara
Indonesia dengan Singapura.[4]
Penulis berpendapat bahwa konflik
perbatasan wilayah antara Indonesia-Singapura akan menjadi boomerang bagi kedua
belah pihak jika penyelesaian masalah belum menacapai titik terang. Karena
apabila semakin luput dari pantauan pemerintah Indonesia akan semakin
memberikan ancaman yang lebih merugikan pihak Indonesia. Sehingga langkah yang
harus dibenahi adalah membuat ketetapan yang tegas mengenai batas-batas negara,
baik dari berbagai aspek darat, laut maupun udara. Kemudian peran pemerintah
Indonesia juga harusnya memberikan perhatian lebih kepada wilayah-wilayah
perbatasan, sehingga tidak mengulangi kekecewaan seperti kehilangan Pulau
Sipadan-Ligitan. Perhatian khusus juga harus diberikan salah satunya kepada
Pulau Nipah yang hampir tenggelam yang memiliki peran penting sebagai pulau
terluar dari Indonesia dan sebagai titik pengukuran perbatasan dengan negara
tetangga. Kemudian dampak yang ditimbulkan dari reklamasi singapura yang
menyebabkan abrasi pantai dan merusak ekosistem disekitarnya perlu dibenahi dan
dikelola kembali. Akhir kata terkait semua masalah yang ditimbulkan oleh
reklamasi Singapura, penulis berharap pemerintah Indonesia harus lebih bijak
dalam mengatur dan melindungi kepentingan nasional bangsa Indonesia.
[1]
Huala Adolf, Reklamasi Singapura :
Tragedi sipadan-Ligitan babak Kedua?,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/1402/05/nasional/109318.htm, diakses pada
tanggal 18 Maret 2005
[2]
KALIPTRA Sumatra, Neraka Bagi Kehidupan Nelayan Tradisional,
http://www.walhi.or.id/kampanye/tambang/galianc/tum-neraka-nelayan-kk-080802,
diakses tanggal 18 Maret 200
[3]
Swasta Dilibatkan Kelola Pulau Nipah,
http://www.kompas.com/kompas-cetak0502/02/ekonomi/1537341.htm, diakses tanggal 16 Mei 2005
[4]
Wisnu Yudha AR, "Reklamasi Singapura sebagai Potensi Konflik Delimitasi
Per batasan Wilayah IndonesiaSingapura", Global & Strategis, Th I, No
a, Juli-Desember 2007. 120-137.
Komentar
Posting Komentar