PELAJARAN BERHARGA DARI LEPASNYA SI KEMBAR CANTIK “SIPADAN-LIGITAN”

PELAJARAN BERHARGA DARI LEPASNYA SI KEMBAR CANTIK
“SIPADAN-LIGITAN”
Oleh :Siti Fatimah (1510631180141)


Wilayah merupakan salah satu unsur terpenting bagi suatu negara, karena wilayah merupakan tempat negara melaksanakan kedaulatannya terdiri atas daratan atau tanah, perairan dan ruang udara. Mengingat pentingnya wilayah bagi suatu negara,  maka batas-batasnya harus  jelas untuk  menghindari  kemungkinan sengketa dengan negara-negara yang lain.[1] Dalam sejarah manusia maupun negara-negara, kerap terjadi konflik antarnegara yang bersumberkan pada masalah batas wilayah. Konflik ini bisa disebabkan oleh karena keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah maupun ketidakjelasan batas-batas wilayah antarnegara.
Salah satu fungsi dari batas wilayah itu telah berkembang menjadi sebuah kontribusi untuk identitas nasional dan sebagai pelindung dari hasil kekayaan sumber  daya  alam  yang  langka atau   sulit   untuk   diperbaharui. Masalah ketidakjelasan batas-batas negara dan status wilayah sering menjadi sumber persengketaan diantara negara-negara yang berbatasan atau berdekatan. Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap penetapan batas-batas landas kontinen di antara negara-negara bertetangga sehingga menimbulkan wilayah “tumpang tindih” yang dapat menimbulkan persengketaan.[2]
Contoh nyata yang melibatkan Indonesia yaitu  permasalahan  sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada  tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara,  masing- masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo, akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya.
Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam  yang dikandungnya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
            Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran bagi Indonesia agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan politik pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.[3] Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau  Sipadan-Ligitan adalah kesalahan kebijakan            politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang         hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari  solusi ke Mahkamah Internasional.[4] Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik sebagai eksekutif maupun legislatif yang kurang berjalan dengan baik dan sinergis karena saling menyalahkan  setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke        dalam bagian dari wilayah Malaysia. Selain permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah Internasional.[5]
            Berdasarkan permasalahan yang dialami Indonesia-Malaysia mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, penulis menganalisa menggunakan teori Realisme yang dikemukakan oleh Hans    J.Morgenthau dimana konsep dasar nya adalah konsep kepentingan (interest) yang dikonseptualisasikan ke dalam istilah “power” antara nalar (reason) yang berusaha memahami  politik  internasional dengan fakta-fakta yang  merupakan arah memilah-milah antara fakta-fakta politik dan bukan fakta politik, arah  mana akan memberikan  suatu tertib sistematis terhadap lingkup politik, yang sekaligus pula akan menempatkan politik sebagai lingkup kegiatan dan pemahaman yang  otonom. Teori realisme politik internasional dicirikan oleh tiga hal yakni (1) negara dan politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, (2) konsep power, dan (3) konsep balance of power.
            Konsep negara dan politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis dapat diartikan pada negara -negara   sebagai  aktor utama dalam panggung politik internasional. Dimana Pengamatan terhadap setiap tingkah laku negara, akan terlihat dalam politik luar negeri yang dijalankan oleh Pemerintah negara yang bersangkutan. Negara dan politik luar negerinya merupakan unit dalam tingkat analisanya. Sehingga sorotan tentang kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh suatu negara menjadi titik fokus yang dapat di lihat oleh pihak luas, baik fokus terhadap kemajuan mupun tentang konflik yang terjadi pada negara tersebut sebagai unit dan tingkat analisis.
            Jika menelisik permasalahan Sipadan-Ligitan pada aspek negara sebagai aktor utama dalam panggung politik yaitu Indonesia-Malaysia menurut penulis tingkah laku aktor sebagai penentu kebijakan terhadap politik luar negeri yang dijalankan pemerintah negara yang bersangkutan belum terlaksana dengan baik. Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah Malaysia. Sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang sebagai permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah Internasional.
            Dalam konteks konsep tentang “power” bahwa tingkah laku negara-negara dipanggung politik internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk memelihara, meningkatkan, serta menunjukkan powernya. Konteks power pada permasalahan Sipadan-Ligitan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu dapat dilihat dari awal mula konflik dimulai dimana permasalahan[u1] [u2]  awal dari persengketaan Pulau Sipadan-Ligitanantara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua  negara,  masing-masing   negara   ternyata   memasukkan   Pulau   Sipadan-  Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya.[6] Kedua negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan tetapi ternyata  pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki. sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini  selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Peran kebijakan politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan  baik  dan  tidak   sesuai dengan kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu. Pemerintahan pada waktu itu melakukan penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional. Namun Indonesia mengalami kekalahan atas Malaysia dengan pertimbangan Mahkamah Internasional yaitu tindakan administratif, pemeliharaan terus-menerus dan pelestarian alam.
            Pola interaksi hubungan antarnegara yang sama-sama berjuang untuk memelihara, meningkatkan,            dan menunjukkan powernya digunakan konsep perimbangan kekuatan (balance of power). Permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan terhadap Indonesia-Malaysia jika dikaitkan dengan balance of power, penulis mengamati minimnya usaha untuk meningkatkan dan menunjukkan powernya, karena pada saat itu jalur yang ditempuh kedua belah pihak hanya melakukan dengan penyelesaian konflik melalui jalur dalam atau lebih bersifat jalur hukum.oleh karena itu menurut penulis jalur hukum yang ditempuh Indonesia untuk mengatasi konflik perebutan Pulau Sipadan-Ligitan kurang begitu menunjukkan penekanan papa peningkatan national power untuk mempertahankan keamanan nasional dan suvivar dari negara lain.
Opini penulis dalam permasalahan  segketa  Pulau  Sipadan-Ligitan  antara  Indonesia  dan Malaysia, realisme politik yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik sehingga perumusan suatu kebijakan politik tidak dapat terlaksana dengan baik. Permasalahan yang ada pada masa pemerintahan Soeharto dan Megawati dinilai kurang memberikan perhatian kepada daerah-daerah perbatasan yang memiliki potensi yang sangat melimpah ditambah dengan usaha yang begitu minim dan kurang serius dari pemerintah Indonesia dalam memperhatikan dan menyelesaikan permasalahan Sipadan-Ligitan membuat Mahkamah Internasional bahkan negara-negera lain lebih memilih Malaysia menjadi pemenang wilayah tersebut. Untuk itu, agar tidak mengulangi kekecewaan yang sama dan kerugian yang sangat besar maka sudah saat nya pemerintah memperbaharui Undang-Undang mengenai perbatasan negara dan memperjelas perbatasan negara. Perlunya penegasan dari pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pertahanan nasional dan keutuhan NKRI sebagai negara yang berdaulat dan bisa disegani oleh negara-negara tetangga. Kemudian pemerintah dituntut untuk tidak terlalu Java Sentris dan pembangunan pos-pos perbatasan antar negara dan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu wujud pemberikan dukungan dan perhatian untuk pemerataan pembangunan ke daerah-daerah perbatasan yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah.



[1]LB. Moerdani, Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan  Jenderal  TNI (Purn) LB. Moerdani   1988-1991 Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992,    hlm. 39.
[2] Ibid
[3]Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011 pukul 21.45].
[4] Ibid hlm 51
[5] Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011].

[6] Aspiannor Masrie,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jumat tanggal 29 April 2011].






 [u1]ana


 [u2]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reklamasi Singapura sebagai Potensi Konflik Terhadap Batas Wilayah Indonesia-Singapura

POROS MARITIM DUNIA (PMD) SEBAGAI KONSEP HEDGIN BANGSA INDONESIA