PELAJARAN BERHARGA DARI LEPASNYA SI KEMBAR CANTIK “SIPADAN-LIGITAN”
PELAJARAN BERHARGA DARI LEPASNYA SI
KEMBAR CANTIK
“SIPADAN-LIGITAN”
Wilayah
merupakan salah satu unsur terpenting bagi suatu negara, karena wilayah
merupakan tempat negara melaksanakan kedaulatannya terdiri atas daratan atau
tanah, perairan dan ruang udara. Mengingat pentingnya wilayah bagi suatu negara, maka batas-batasnya harus jelas untuk
menghindari kemungkinan sengketa
dengan negara-negara yang lain.[1]
Dalam sejarah manusia maupun negara-negara, kerap terjadi konflik antarnegara
yang bersumberkan pada masalah batas wilayah. Konflik ini bisa disebabkan oleh
karena keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah maupun ketidakjelasan
batas-batas wilayah antarnegara.
Salah
satu fungsi dari batas wilayah itu telah berkembang menjadi sebuah kontribusi
untuk identitas nasional dan sebagai pelindung dari hasil kekayaan sumber daya
alam yang langka atau
sulit untuk diperbaharui. Masalah ketidakjelasan batas-batas negara dan status wilayah sering menjadi sumber persengketaan diantara
negara-negara yang berbatasan atau
berdekatan. Persengketaan muncul akibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap
penetapan batas-batas landas kontinen di antara negara-negara bertetangga
sehingga menimbulkan wilayah “tumpang tindih” yang dapat
menimbulkan persengketaan.[2]
Contoh nyata yang melibatkan Indonesia yaitu permasalahan
sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan
Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika
dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing- masing negara ternyata memasukkan
Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu
sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo, akan tetapi ternyata
pengertian ini berbeda. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan
ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern. Secara
tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu
yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda
yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika
mereka meninggalkan tanah jajahannya.
Dalam
konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Pada tahun 1969 pihak
Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau
tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan
tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran
bagi Indonesia agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masalah
lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan politik pada masa
Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri.[3]
Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan
adalah kesalahan kebijakan politik
pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang hanya
mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional.[4]
Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor
politik baik sebagai eksekutif maupun legislatif yang kurang berjalan dengan
baik dan sinergis karena saling menyalahkan
setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah
Internasional yang menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah Malaysia.
Selain permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup
bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah
Internasional.[5]
Berdasarkan permasalahan yang
dialami Indonesia-Malaysia mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, penulis
menganalisa menggunakan teori Realisme yang
dikemukakan oleh Hans J.Morgenthau
dimana konsep dasar nya adalah konsep kepentingan (interest) yang
dikonseptualisasikan ke dalam istilah “power” antara nalar (reason) yang berusaha memahami politik
internasional dengan fakta-fakta yang
merupakan arah memilah-milah antara fakta-fakta politik dan bukan fakta
politik, arah mana akan memberikan suatu tertib sistematis terhadap lingkup
politik, yang sekaligus pula akan menempatkan politik sebagai lingkup kegiatan
dan pemahaman yang otonom. Teori
realisme politik internasional dicirikan oleh tiga hal yakni (1) negara dan politik
luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, (2) konsep power, dan (3) konsep balance
of power.
Konsep negara dan politik luar
negeri sebagai unit dan tingkat analisis dapat diartikan pada negara
-negara sebagai aktor utama dalam panggung politik
internasional. Dimana Pengamatan terhadap setiap tingkah laku negara, akan
terlihat dalam politik luar negeri yang dijalankan oleh Pemerintah negara yang
bersangkutan. Negara dan politik luar negerinya merupakan unit dalam tingkat
analisanya. Sehingga sorotan tentang kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh
suatu negara menjadi titik fokus yang dapat di lihat oleh pihak luas, baik
fokus terhadap kemajuan mupun tentang konflik yang terjadi pada negara tersebut
sebagai unit dan tingkat analisis.
Jika menelisik permasalahan
Sipadan-Ligitan pada aspek negara sebagai aktor utama dalam panggung politik
yaitu Indonesia-Malaysia menurut penulis tingkah laku aktor sebagai penentu
kebijakan terhadap politik luar negeri yang dijalankan pemerintah negara yang
bersangkutan belum terlaksana dengan baik. Peran aktor-aktor politik dalam
lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena
saling menyalahkan setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di
Mahkamah Internasional yang menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke
dalam bagian dari wilayah Malaysia. Sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto
hingga Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau
Sipadan-Ligitan hanya dipandang sebagai permasalahan hukum dan pada
kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup bukti yang dihadirkan selama
proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah Internasional.
Dalam konteks konsep tentang “power” bahwa tingkah laku negara-negara
dipanggung politik internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas
perjuangannya untuk memelihara, meningkatkan, serta menunjukkan powernya.
Konteks power pada permasalahan
Sipadan-Ligitan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada saat itu dapat
dilihat dari awal mula konflik dimulai dimana permasalahan[u1] [u2]
awal dari persengketaan Pulau Sipadan-Ligitanantara Indonesia dengan Malaysia,
mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara
kedua negara, masing-masing negara
ternyata memasukkan Pulau
Sipadan- Ligitan ke dalam
batas-batas wilayahnya.[6]
Kedua negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia
membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena
Malaysia memahami status quo sebagai
tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak
Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi
tidak boleh ditempati atau diduduki. sampai persoalan atas kepemilikan dua
pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak
Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya. Peran kebijakan politik Pemerintah Indonesia tidak
berjalan dengan baik
dan tidak sesuai dengan
kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa
pendahulu. Pemerintahan pada waktu itu melakukan penyelesaian permasalahan
sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke
Mahkamah Internasional. Namun Indonesia mengalami kekalahan atas Malaysia
dengan pertimbangan Mahkamah Internasional yaitu tindakan administratif, pemeliharaan
terus-menerus dan pelestarian alam.
Pola interaksi hubungan antarnegara
yang sama-sama berjuang untuk memelihara, meningkatkan, dan menunjukkan powernya digunakan konsep perimbangan
kekuatan (balance of power).
Permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan terhadap Indonesia-Malaysia jika dikaitkan
dengan balance of power, penulis
mengamati minimnya usaha untuk meningkatkan dan menunjukkan powernya, karena pada saat itu jalur
yang ditempuh kedua belah pihak hanya melakukan dengan penyelesaian konflik
melalui jalur dalam atau lebih bersifat jalur hukum.oleh karena itu menurut
penulis jalur hukum yang ditempuh Indonesia untuk mengatasi konflik perebutan
Pulau Sipadan-Ligitan kurang begitu menunjukkan penekanan papa peningkatan national power untuk mempertahankan
keamanan nasional dan suvivar dari negara lain.
Opini
penulis dalam permasalahan segketa Pulau
Sipadan-Ligitan antara Indonesia
dan Malaysia, realisme politik yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia
tidak berjalan dengan baik sehingga perumusan suatu kebijakan politik tidak
dapat terlaksana dengan baik. Permasalahan yang ada pada masa pemerintahan Soeharto
dan Megawati dinilai kurang memberikan perhatian kepada daerah-daerah
perbatasan yang memiliki potensi yang sangat melimpah ditambah dengan usaha
yang begitu minim dan kurang serius dari pemerintah Indonesia dalam
memperhatikan dan menyelesaikan permasalahan Sipadan-Ligitan membuat Mahkamah
Internasional bahkan negara-negera lain lebih memilih Malaysia menjadi pemenang
wilayah tersebut. Untuk itu, agar tidak mengulangi kekecewaan yang sama dan
kerugian yang sangat besar maka sudah saat nya pemerintah memperbaharui
Undang-Undang mengenai perbatasan negara dan memperjelas perbatasan negara.
Perlunya penegasan dari pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pertahanan
nasional dan keutuhan NKRI sebagai negara yang berdaulat dan bisa disegani oleh
negara-negara tetangga. Kemudian pemerintah dituntut untuk tidak terlalu Java Sentris dan pembangunan pos-pos
perbatasan antar negara dan pembangunan infrastruktur sebagai salah satu wujud
pemberikan dukungan dan perhatian untuk pemerataan pembangunan ke daerah-daerah
perbatasan yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah.
[1]LB.
Moerdani, Menegakkan Persatuan dan
Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan
Jenderal TNI (Purn) LB. Moerdani 1988-1991, Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992, hlm. 39.
[2]
Ibid
[3]
“Memanasnya Hubungan
RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa
tanggal 26 April 2011 pukul 21.45].
[4]
Ibid hlm 51
[5] “Indonesia Kehilangan Pulau
Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari Selasa
tanggal 26 April 2011].
[6]
Aspiannor
Masrie,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses
pada hari Jum‟ at tanggal 29 April 2011].
Komentar
Posting Komentar